banner 728x250

KODAM XVII/CENDERAWASIH TANGGAPI LAPORAN AMNESTY INTERNASIONAL TENTANG 100 ORANG WARGA PAPUA TEWAS

judul gambar

JAYAPURA, MEDIATRANSPARANCY.COM – Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi menegaskan, bahwa tidak benar seluruh tuduhan bahkan itu seluruhnya merupakan fitnah yang menyebutkan polisi dan tentara dituduh bertanggung jawab atas kematian 95 warga sipil di Papua selama 8 tahun terakhir, kematian terjadi di luar prosedur hukum.

Lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM) dan Amnesty International menyebut setidaknya 95 warga sipil di Papua meninggal dunia akibat tindakan represif kepolisian dan militer sejak tahun 2010. Salah satu pemicu kematian itu adalah aspirasi politik tentang kemerdekaan Papua. Namun diduga ada pula sejumlah kematian yang terjadi dalam penanganan kasus kriminal.

judul gambar

“Institusi Militer yang memegang kendali teritorial Papua dan bermarkas di Jayapura, menyangkal seluruh tuduhan tersebut dan itu adalah fitnah,” tegas Kapendam XVII/Cenderawasi Kolonel Inf Muhammad Aidi melalui rilis yang disampaikan ke group media TNI/POLRI.

TNI menganggap korban jiwa yang selama ini muncul merupakan ekses dari penindakan aksi separatis. Yang kehilangan nyawa,
Menurut Kol Inf Aidi mengatakan, bahwa TNI mengaggap korban jiwa yang selama ini muncul merupakan ekses dari penindakan aksi separatis yang kehilangan nyawa. “Bukan hanya anggota kelompok bersenjata menjadi korban jiwa, tapi juga tentara dan polisi menjadi korban jiwa dari aksi separatis,” katanya.

“Kalau Anda mengatakan TNI menembaki orang tak berdosa di Papua tanpa sebab dan proses hukum, itu fitnah. Semua yang terjadi ada sebab, yaitu separatis yang melawan kedaulatan negara. Itu penyebab utama,” tutur Aidi.

Menurut Kapendam Cenderawasih, tidak mendasar pernyataan Amnesty International mengklaim mengumpulkan data berbasis wawancara korban luka dan keluarga yang sanak familinya kehilangan nyawa. “Itu, kan sangat tidak mendasar dan bersifat sepihak. Mereka juga mengajukan keterbukaan informasi pada Polda Papua serta Kodam XVII/Cenderawasih,” kata Kol Inf Aidi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuding sebagian besar polisi dan tentara yang terlibat pembunuhan di Papua hanya diganjar sanksi administratif: dimutasi atau diberhentikan dari kesatuan.

“Belum ada aparat di Papua yang divonis bersalah di pengadilan dan dihukum penjara. “Kebanyakan sanksi disiplin. Tidak ada pemenjaraan yang setimpal, padahal pembunuhan dalam hukum pidana adalah perbuatan berat. Ada disparitas keadilan,” kata Usman Hamid.

Usman Hamid menyebut sebagian pembunuhan warga sipil oleh aparat bermotif balas dendam. Merujuk laporan Amnesty International, 56 dari total 95 kematian warga sipil di Papua, dalam periode Januari 2010 hingga Februari 2018, tidak berkaitan dengan aktivitas politik. Di luar itu, pembunuhan berencana terhadap aktivis prokemerdekaan Papua juga dituduhkan kepada polisi dan tentara.

Namun faktanya, kata Kapendam, bahwa setiap saat korban laka lalin, korban perang suku, dan lalin-lain mereka upload ke berbagai media bahkan sampai International dengan menuding bahwa itu adalah korban kekejaman aparat TNI-Polri.

Menurut Kol Inf Aidi setiap insiden yang terjadi di Papua mereka selalu menyoroti hanya dari akhir kejadian di mana jatuh korban, tetapi mereka tidak pernah mau jujur mengungkap proses kejadiannya dan akar permasalahannya, contohnya kasus Paniai Desember 2014 yang selalu mereka gembor-gemborkan hanya menyoroti tentang jatuhnya korban, tapi tidak pernah dibahas bagaimana ketika ribuan massa bersenjata panah, tombak, golok bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat keamanan. Aparat keamanan berusaha membela diri bertindak tegas sehingga akhirnya harus ada yang jatuh korban.

Akar persoalan yang paling hakiki di Papua karena adanya sekelompok orang yang mengangkat senjata secara Illegal merongrong kedaulatan negara menuntut merdeka pisah dari NKRI. Hal ini di negara hukum manapun di seluruh dunia tidak ada yang membenarkan adanya pemilikan senjata api apalagi standar militer secara Illegal.

“Dan di negara manapun di seluruh dunia tidak ada suatu pemerintahan yang mentolelir suatu tindakan makar atau pemberontakan terhadap kedaulatan Negaranya. Mereka mempersenjatai diri saja secara Illegal itu sudah salah, tidak dibenarkan oleh hukum manapun. Termasuk kegiatan atau upaya makar melawan kedaulatan Negara. Tetapi apabila mereka jatuh korban mereka ingin dianggap benar dan menuntut keadilan atau pembelaan,” jelas Kol Inf Aidi.

Kasus lain, lanjut Kapendam, sekelompok orang melaksanakan demonstrasi menuntut merdeka pisah NKRI dan nyata-nyata merongrong kedaulatan Negara, kemudian berhadapan dengan aparat keamanan TNI/Polri yang pada akhirnya terjadi tindakan anarkis yang mengakibatkan jatuhnya korban, maka aparat keamanan yang berdiri membela kedaulatan negaranya dituding sebagai pelangggar HAM, tetapi mereka yang melakukan perlawanan terhadap kedaulatan negara yang sah tidak pernah dipersoalkan bahkan dilindungi,” katanya.

Karena itu, lanjut Kapendam XVII/Cenderawasih, Amnesty Internasional dalam laporannya sangat tidak berimbang dan terkesan hanya mencari-cari kesalahan untuk memojokkan pihak aparat keamanan TNI/Polri. Kenapa mereka tidak membahas tentang kekejaman yang dilakukan oleh pihak KKSB baik terhadap aparat negara maupun terhadap warga sipil yang tak berdosa?.

Sebagai contoh, kata Kol Inf Aidi, penembakan sekelompok orang terhadap pesawat di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga beberapa hari jelang pemilihan gubernur lalu, tiga warga sipil dilaporkan tewas dibunuh kelompok tersebut. “Termasuk anak kecil umur 6 tahun dibacok setelah kedua ibu dan bapaknya ditembak mati di depannya,” tambahnya.
Pesawat itu, kata Kapendam XVII/Cederawasih adalah fasilitas umum dan merupakan satu-satunya sarana transportasi masyarakat di daerah tersebut yang masih terisolasi namun mereka tembaki. Sehari setelah perayaan Idul fitri yang lalu, aparat TNI yang melaksanakan patroli untuk memastikan pelaksanaan Ibadah Idul Fitri berjalan hikmad dan aman, juga di serang yang mengakibatkan 5 orang prajurit TNI luka parah.

Kol Inf Aidi juga menyebut hilangnya dua anggota polisi di Distrik Torere, Kabupaten Puncak saat mengawal logistik Pilkada pekan lalu. Kepala Distrik orang asli Papua dan seorang pendeta tidak luput mati tertembak oleh KKSB.
“Kami justru jadi korban. Kami bertindak berdasarkan kaidah dan kode etik, serta UU yang berlaku sementara mereka bertindak seenaknya saja tanpa norma dan aturan, mereka tak mengenal combatan dan non combatan, warga sipil bahkan anak kecilpun dibantai tanpa ampun,” kata Aidi seraya menambahkan Semua pelanggaran prosedur dianggap pelanggaran, padahal personel kami membela diri.

Demikian juga kepada pekerja jalan, kata Kol Inf Aidi, yang saat bekerja membangun infrastruktur berupa pembuatan jalan untuk membuka isolasi wilayah pedalaman Papua juga ditembak mati dan b ahkan alat berat dibakar. Mereka korban penembakan tersebut adalah personel PT Modern di Sinak, Kabupaten Puncak, Vicky Sondak karyawan PT PP di Nduga tewas dibantai dan senjata milik TNI dirampas setelah terlebih dahulu prajuritnya dianiaya.

“Karyawan PT. PP di Nduga Almahrum Vicky Sondak tewas di bantai dan senjata milik TNI dirampas setelah terlebih dahulu prajuritnya dianiaya. Mereka korban penembakan lainnya juga personel PT Modern di Sinak, Kabupaten Puncak,” katanya.

Ada kasus lainnya ditambahkan Kapendam XVII/Cenderawasih, yakni pada bulan Desember tahun lalu, KKSB menyandera 1.300 warga sipil di Utikini Tembagapura kompleks dan membakar fasilitas Rumah Sakit, gedung sekolah, dan puluhan rumah warga. “Bukankah ini pelanggaran HAM berat?. Mereka selalu menuntut merdeka tetapi sebaliknya mereka yang merampas hak dan kemerdekaan warga lain,” kata Kapendam.
Karena itu, kata Kapendam, aparat keamanan TNI/Polri melaksanakan operasi pembebasan sandera dengan berusaha menghindari jatuhnya korban. Kami, kata dia, bisa saja melaksanakan operasi pengejaran secara besar-besaran dengan mengerahkan pesawat tempur, Hellycopter serang dan persenjataan serta kekuatan lain, tetapi TNI tidak melakukan itu karena kami menjunjung tinggi norma dan aturan yang berlaku.

Kodam XVII/Cenderawasih yang kini dipimpin Mayjen TNI George Elnadus Supit mengklaim, bahwa dalam penanggulangan terhadap gangguan-gangguan keamanan di Papua , Kodam XVII/Cenderawasih cenderung bersifat pasif dan mengedepankan pendekatan teritorial.
Alasannya, lanjut Kapendam, bahwa Papua berstatus tertib sipil sama dengan di daerah lain di seluruh wilayah Indonesia, Papua bukan daerah operasi militer.
“Kami tidak mengejar, diserang baru membalas. Kami berupaya agar tidak muncul korban, kami tetap melaksanakan pendekatan teritorial dan kesejahteraan rakyat,” kata Aidi.

Penulis : Benz
Editor : Benz

judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.