banner 728x250

LPSK : BULAN JANUARI 2018, SUDAH PULUHAN ORANG JADI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

judul gambar

JAKARTA, MEDIATRANSPARANCY.COM –  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat setidaknya sudah 98 orang menjadi korban kekerasan seksual, dimana 88 diantaranya masih berusia anak. Jumlah tersebut masih mungkin bertambah jika melihat kemungkinan adanya tindakan kekerasan seksual yang tidak dilaporkan. Demikian yang disampaikan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai saat menggelar konferensi pers dikantornya Jalan Raya Bogor KM. 24 Nomor 47-49, RT 006/01 Susukan Ciracas, Jakarta Timur pada, Kamis (1/2/2018)

“Dari jumlah tersebut menunjukan jumlah yang cukup tinggi. Bahkan jika dirata-rata, bisa 3 orang lebih menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya,” tutur Semendawai.

judul gambar

Dalam penuturannya Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa dari jumlah tersebut LPSK sudah memproses penanganan kepada 73 orang anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Para korban tersebut saat ini sedang dalam tahap proses pengajuan permohonan perlindungan, yang mana merupakan syarat diberikannya perlindungan. “Dari jumlah 73 korban, lebih dari setengahnya, yakni 43 orang, merupakan anak korban pencabulan Babe di Tangerang,” ulasnya.

“Khusus untuk kasus Babe Tangerang, LPSK akan bersinergi dengan instansi lain agar pemberian layanan bisa optimal sesuai tugas fungsi masing-masing,” ujar Semendawai.

Dari hasil temuan tim LPSK yang turun ke lapangan menemui para korban kekerasan seksual, diketahui bahwa rata-rata para korban rasa takut, trauma, hingga tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar baik keluarga maupun pihak sekolah. Bahkan pada beberapa kasus ada upaya dari keluarga maupun sekolah untuk menutup-nutupi kasus yang menimpa anak atau siswa mereka. Hal ini tentunya selain menyebabkan tindak pidana sulit terungkap, juga akan semakin memojokkan posisi korban.

Selain itu, adanya tuntutan pembuktian seringkali membuat suatu tindak pidana kekerasan seksual sulit diungkap, hal ini dikarenakan minimnya saksi yang mengetahui. Apalagi jika kekerasan seksual yang tidak berbentuk penetrasi dimana bukti-bukti akan semakin sulit. Meski begitu LPSK yakin dengan itikad baik dan inovasi dari penyidik bukan berarti tindak pidana kekerasan seksual yang buktinya minim akan sulit terungkap. “Misalnya dengan melakukan visum psikiatri yang tidak hanya berpatokan pada bukti fisik yang mungkin saja tidak ada, namun sebenarnya tindak pidana seksual sudah terjadi,” papar Semendawai.

LPSK berharap adanya itikad baik penyidik dan dukungan dari masyarakat, sehingga selain bisa membantu mengungkap tindak pidana, juga bisa memberikan dukungan kepada korban agar bisa melalui trauma pasca menjadi korban. “Hal seperti ini penting agar korban tidak menjadi korban untuk kesekian kalinya baik dari pandangan masyarakat maupun menjadi korban dari proses peradilan yang dijalankannya,” pungkas Semendawai.

Tidak berbeda jauh dengan ketua LPSK, Chairman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, selaku psikolog ia mengatakan bahwa pengawasan merupakan bagian dari perangkat yang dibutuhkan.

“Terkait dengan ciri-2 pelaku. Bagaimana caranya mengidentifikasi pelaku, karena tidak ada ciri khusus, baik dari sisi profesi, warna kulit maupun tingkat pendidikannya. Jadi tidak mudah maka anak harus terus terpantau oleh orang tua, karena data fluktuatif,” imbaunya

Susanto juga memaparkan Variasi lintas pelaku yang dari berbagai profesi. “Siapapun bisa menjadi pelaku, bisa oknum aparat, guru, ojek maupun dengan memanfaatkan layanan ojek online maupun layanan armada online lainnya. Bahkan Ustadz sekali pun,” ungkapnya

“Dulu para pelaku berbuat dengan cara konvensional,  sekarang dengan perkembangan jaman yang pesat, berbasis teknologi online terutama media sosial. Dulu aturannya hanya PP sekarang UU, inovasi berbasis pembangunan hak anak. Faktanya banyak kasus-Kasus terhadap anak, pelaku bukan hanya patut dihukum namun harus juga direhabilitasi harus konperehensif, supaya tidak berulang,” tandasnya

Sementara itu, A.Kasandra Putranto, yang merupakan seorang psikolog klinis menerangkan sejak kurun waktu 1990 hingga 2018 bagian dari hasil yang sudah terjadi seperti puncak gunung es. “Memberikan dampak kontiyunitas, walaupun memang hukum kita telah lebih baik, merupakan keberhasilan instansi maupun institusi penegak hukum dan efek jera harus diterapkan secara tegas,” katanya

“Karena sebagian pelaku adalah pernah mengalami (menjadi korban), maka hukum bagi para pelakunya yang paling efektif adalah hukuman seumur hidup, karena bertujuan untuk melindungi masyarakat,” harapnya.

Kasandra juga mengatakan harus ada tindakan yang lebih konkrit bukan hanya hukuman berat. “Penerapan terhadap pelaku yang harus melakukan finger print dan juga melakukan pendampingan terhadap korban. Selalu menerapkan tindakan preventif dalam melindungi anak-anak. Selain pengawasan terhadap anak yang tidak aman, pendiam dan kurang dekat sama orang tua,” ujarnya

Karena bukan hanya tugas penegak hukum terkait tindakan kekerasan seksual, namun telah menjadi tanggung jawab kita semua, terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual ini agar tidak terjadi, dan penerapan hukuman yang sangat tegas serta rehabilitasi secara tuntas.(*)

 

Reporter : Ahmad Z
Editor : Ach. Zark
judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.