JAKARTA, MediaTransparancy.com – Posisi bekas panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Wahyu Gunawan sangat dominan dan sentral dalam kasus suap empat hakim yang kasusnya tengah disidangkan. Wahyu yang terlebih dulu bertemu dengan Aryanto baru kemudian Muhammad Arif Nuryanta dan Djuyamto.
Oleh karena posisi sentral itulah maka majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberondong atau mencecar terdakwa Wahyu Gunawan saat yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi mahkota, Rabu (8/10/2025).
Selain soal pembagian uang suap juga ikhwal eks penitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara itu sampai mendatangi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta dan hakim Djuyamto, Ketua Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng.
“Apakah saudara saksi pernah berurusan dengan terdakwa Djuyamto dalam hal pengurusan perkara sebelum yang satu ini,” tanya majelis hakim pimpinan Efendi SH.
Wahyu Gunawan “motor” suap hakim tersebut mengaku belum pernah berurusan perkara dengan Djuyamto.
“Bagaimana dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta, pernah bekerjasama mengurus perkara,” tanya majelis lagi.
Kembali Wahyu Gunawan yang aktif mengurus perkara korporasi minyak goreng itu mengaku baru yang saat ini.
“Lantas mengapa saudara saksi nekat menemui mereka untuk mengurus perkara, tidak takut dimarahi? Kok saksi tega menjerumuskan mereka. Tidakkah saksi tahu bahwa panitera dilarang mempertemukan hakim dengan pihak-pihak yang berperkara,” tanya majelis hakim lagi.
“Apakah Aryanto Bakrie, pengacara korporasi minyak goreng, menyuruh saudara,” majelis terus mencari tahu.
“Faktor karena sudah kenal saja barangkali Yang Mulia,” kata Wahyu.
Majelis hakim juga mempertanyakan ancaman Wahyu kepada Aryanto yang berbunyi jika tidak dipenuhi Rp 60 miliar jangan diharap dapat lagi berbisnis minyak goreng klien Aranto.
“Itu tidak betul Pak Hakim, saya tidak pernah mengancam Aryanto,” kata saksi mahkota tersebut.
Ketua Majelis Hakim Effendi sebelumnya sudah mengingatkan keempat terdakwa jujur. “Saya mewakili majelis mengingatkan kepada saudara berempat bisa merasakan suasana kebatinan kami sebagai majelis hakim dalam menangani perkara ini,” ujarnya.
Peringatan itu juga berlaku bagi terdakwa Wahyu Gunawan. Kelimanya saling bersaksi untuk terdakwa lain. Effendi berharap kelima terdakwa memahami apa yang diinginkan majelis dalam menguji perkara ini. “Kami butuh kejujuran,” kata dia.
Mengenai pernyataan Aryanto atau lebih dikenal sebagai Ary Bakrie, bahwa hakim recehan setelah ada protes pemberian uang suap tidak sesuai permintaan dari eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan membenarkannya.
Pernyataan merendahkan itu terjadi saat Aryanto bertamu ke rumah Wahyu usai pemberian suap senilai 2 juta dollar Amerika Serikat (AS). Kejadian ini terjadi sekitar Oktober 2024. Jumlah uang suap ini dinilai wanprestasi oleh Arif Nuryanta karena permintaan adalah 3 juta dollar AS. Wahyu pun menyampaikan soal pernyataan wanprestasi dari Arif kepada Ariyanto.
“Ya jadi begitu saya sampaikan, ‘Lu wanprestasi katanya,” ujar Wahyu.
Panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan mengulang pernyataan yang disampaikan Aryanto saat itu. “Sudahlah lu terima saja, hakim itu recehan juga diambil,” kata Wahyu meniru ucapan Aryanto yang kemudian pergi meninggalkan rumahnya.
Wahyu merupakan pihak yang pertama memperkenalkan pengacara pihak korporasi minyak goreng, Ariyanto, kepada eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta. Saat itu, Arif Nuryanta masih sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Dari perkenalan ini, terjadi pendekatan dan negosiasi yang berujung Aryanto bersama pengacara lainnya menyuap majelis hakim untuk memberikan vonis lepas kepada pihak Perusahaan.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa empat hakim dan seorang panitera menerima suap mencapai Rp 40 miliar. Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, didakwa menerima Rp 15,7 miliar; Panitera nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar. Sementara itu, Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Uang suap itu diterima dari pengacara Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih dan M Syafe’i. Mereka adalah advokat atau pihak yang mewakili korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.
Ketiga perusahaan itu terlibat korupsi minyak goreng.
Menurut jaksa, hadiah atau janji kepada para terdakwa diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya.
“Supaya menjatuhkan putusan lepas,” tuturnya.
Penulis: AS/WP















