JAKARTA, MediaTransparancy.com |Persidangan terkait sengketa lahan antara warga (Penggugat Inti) : 42 orang penghuni komplek Ruko Marinatama Mangga 2, dengan Tergugat ATR/BPN Jakarta Utara, Tergugat 2 INTERVEN Menhan RI, dalam hal ini Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) – TNI AL kembali bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan Agenda Sidang : “Tambahan Bukti Surat dari para Pihak dan Jawaban dari para Tergugat dan Tergugat 2 interven atas gugatan penggugat 2 interven” yang dilaksanakan diruang Chandra, lantai 1 PTUN Jakarta pada, Rabu (19/11/2025).

Sidang yang dilaksanakan kali ini, yakni Perkara bernomor 236/G/2025/PTUN.JKT kembali digelar Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terletak di Jalan A – Akses Sentra Primer, RT.009/RW.08, Baru Timur, Pulo Gebang Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, menjadi perhatian publik yang lebih luas.
Subali, SH selaku Kuasa hukum warga, sebelum sidang memberikan keterangan kepada wartawan, bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersifat netral dalam sengketa tanah yang kini memicu ketidakpastian di tengah masyarakat, khususnya warga Marinatama.
“BPN merupakan otoritas tertinggi dalam penerbitan, legalisasi, dan pengelolaan seluruh dokumen pertanahan sehingga tidak berada pada posisi yang memihak pihak mana pun,” tuturnya.
Namun di balik netralitas BPN, Subali juga mengungkap adanya dua isu krusial yang membuat warga resah dan membutuhkan penjelasan resmi agar tidak terjadi tindakan sepihak yang merugikan masyarakat.
“Issue pertama terkait proses Hukum yang sudah masuk Tahap Pengadilan, Isu pertama menyangkut perkara tanah yang tengah berproses di jalur hukum resmi. Dan perkara ini telah masuk ke tahapan formal di pengadilan, sehingga seluruh keputusan harus menunggu putusan sah,” ujar Subali.
Ia menegaskan, tidak diperbolehkan ada tindakan mendahului pengadilan, termasuk pengosongan lahan atau aktivitas administratif lain yang belum mendapat legitimasi hukum.
“Issue kedua, yakni ultimatum rencana Pengosongan Lahan pada 31 Desember 2025, nanti. Isu kedua menjadi sumber keresahan terbesar. Warga menerima informasi bahwa lahan yang mereka tempati puluhan tahun akan dikosongkan pada 31 Desember 2025. Isu ini muncul akibat klaim bahwa masa pengelolaan telah melampaui 25 tahun,” paparnya.
Subali menilai informasi tersebut tidak memiliki dasar kuat karena, Pertama; Warga tidak pernah menerima pemberitahuan resmi, Kedua Belum ada keputusan pengadilan, Dan yang ketiga Tidak ada dasar eksekusi formal.
“Tindakan pemaksaan melalui pengosongan tanpa putusan pengadilan adalah tindakan melawan hukum dan dapat tergolong tindakan sewenang-wenang,” tegas Subali
Dalam pemaparannya, Subali juga mengungkapkan bahwa lahan yang jadi obyek sengketa tersebut awalnya merupakan tanah negara, lalu masuk ke proses penerbitan obligasi, hingga akhirnya diserahkan kepada pengembang dan dijual kepada masyarakat sebagai pengguna (user).
Masalah semakin kompleks ketika pengelolaan lahan disebut bergeser dari Benhil ke Inkopal, menimbulkan perbedaan persepsi karena:
* Inkopal merasa sebagai pengelola utama,
* Warga memegang sertifikat hak pakai resmi dari BPN,
* Muncul dokumen lain yang bukan produk BPN,
* HPL diklaim oleh pihak non-instansi, padahal secara hukum hanya boleh dimiliki lembaga negara.
Subali juga menegaskan bahwa HPL tidak sah jika diterbitkan atas nama pihak yang bukan institusi negara, sehingga bila ada perbedaan penafsiran, jalur hukum adalah satu-satunya solusi.
“Meski pihaknya berkomitmen pada penyelesaian damai, saya dapat menilai kedamaian hanya dapat dicapai jika semua pihak mau duduk bersama. Ia berharap Menteri Pertahanan dapat mengambil peran sebagai mediator dalam sengketa lahan tersebut,” pungkasnya.
Warga kini berada dalam posisi dilematis. Meski memegang sertifikat hak pakai resmi, mereka menghadapi berbagai tekanan seperti; diantaranya permintaan perpanjangan izin melalui pengelola, janji pemberian HGB namun tidak ada kejelasan, pembatasan aktivitas bila tidak memenuhi permintaan tertentu serta ancaman pengosongan akhir tahun 2025. Situasi ini membuat warga hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian yang tidak sehat secara psikologis.
Subali pun menyoroti peran sentral ATR/BPN tentunya sebagai lembaga yang paling berwenang dalam urusan pertanahan di Indonesia. Subali pun mendorong BPN untuk; bisa menjadi penengah objektif, mampu memberikan klarifikasi resmi status dokumen dan menguatkan legitimasi hak warga. Dan jika ada dokumen pertanahan yang muncul tanpa dasar hukum kuat, Kantor Pertanahan (Kantah) ATR/BPN diminta dapat segera memberikan penjelasan agar isu liar tidak semakin berkembang.
Menutup keterangannya, Subali berharap media dapat membantu menyebarkan-luaskan informasi yang benar agar masyarakat dapat tercerahkan wawasannya, jangan sampai malah semakin bingung oleh kabar simpang siur.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian sengketa tanah harus mengacu antara lain pada; Dokumen resmi, Putusan hukum, Transparansi serta perlindungan negara terhadap warga.
Dengan mediasi Menteri Pertahanan (Menhan) RI dan peran aktif ATR/BPN, Subali meyakini konflik yang terjadi dapat diselesaikan secara patut berkadianl dan ketenangan warga dapat dipulihkan sebelum memasuki 31 Desember 2025, mendatang.[]*/dok-ist./AnakNegri/JAG















