banner 728x250

Aksi Nasional FPII ke Dewan Pers dan DPR RI Tuntut Kebebasan dan Ketidakadilan Pers

judul gambar
JAKARTA, MEDIATRANSPARANCY.COM – Jakarta-Keputusan Dewan Pers menggulirkan daftar media terverifikasi kepada sejumlah pihak berwenang telah menimbulkan gejolak penolakan kegiatan jurnalistik di daerah-daerah bagi media yang belum terverifikasi. Sementara kalangan pers terus mempertanyakan bagaimana kebebasan pers dan ketidakdilan pers justru terjadi sehingga bertentangan dengan UU Pers itu sendiri. Apalagi terdapat sejumlah media yang telah terverifikasi melakukan pelanggaran namun tidak dikenai sanksi apapun.

Demikian hal tersebut, terungkap saat Forum Pers Independen Indonesia (FPII), melakukan demonstrasi di depan kantor Dewan Pers, dimana mereka menuntut persoalan keberpihakan dan ketidakadilan yang telah ditunjukkan oleh Dewan Pers terhadap para pekerja pers dan juga terhadap media massa yang tidak terverifikasi.

“Sebagai insan Jurnalis/Pekerja pers merasakan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh Dewan Pers (DP) maka FPII memandang perlu agar Insan Pers yang merupakan wujud dari pelaksana UUD bahwa kebebasan berserikat dan berpendapat adalah hak setiap warga negara, apalagi bagi para media yang sudah berbadan hukum, maka perlu adanya tindakan nyata untuk melindungi dan menaungi insan Pers dari belenggu Verifikasi dan pembungkaman,” jelas Topan, selaku Seknas FPII.

judul gambar

Lebih jauh dikemukakannya, persyaratan yang dibuat oleh Dewan Pers terkait pendaftaran bagi media untuk dapat terverifikasi, FPII menganggap bahwa persyaratan tersebut hanya dapat dipenuhi oleh media berskala besar tanpa mengindahkan para media yang berskala menengah ke bawah.

Bahkan FPII menganggap bahwa masalah tersebut merupakan upaya pengkebirian wartawan untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya. Atau dengan kata lain, terhadap permasalahan yang dialami media non verifikasi dapat dikenakan KUHP, bukan atas dasar UU Pers (lex specialist). Hal tersebut semakin menjadikan profesi wartawan semakin rentan terhadap sebuah tindak pidana.

“FPII memandang hal tersebut merupakan upaya kriminalisasi terhadap perusahaan oers berskala kecil dan tidak adanya pengakuan dan perlakuan khusus bagi profesi jurnalis sebagai profesi yang khusus bagi media non verifikasi “lex specialis derogat legi generalis ( aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum),” tegas Topan.

Seperti diketahui beredarnya surat edaran tentang daftar 74 media terverifikasi yang bisa melakukan peliputan, telah menimbulkan gejolak kesalahpahaman bagi para instansi sebagai objek peliputan dengan para insan pers sebagai pencari berita. Oleh karena FPII meminta kepada Dewan Pers agar memberikan klarifikasi hal tersebut.

Dalam kaitan itu pula, FPII telah melayangkan kepada Komisi I DPR untuk dapat melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk memperjuangkan keadilan, memperjuangkan hak-hak wartawan yang dilindungi UU.

FPII merupakan kumpulan 198 Media Cetak, Online, serta Radio, dan didukung tidak kurang dari 700 Pekerja Pers se-Indonesia, juga akan melakukan aksi di Gedung MPR/DPR untuk menuntut rencana Panja UU Pers, yang terindikasi mengekang kebebasan dan Kemerdekaan Pers.

Terhadap Dewan Pers, FPII menuntut untuk Mencabut Verifikasi Media di seluruh Infonedia, Mrnghentikan Intimidasi-Diskriminasi, dan Kriminalisasi Wartawan, Kembalikan fungsi UU Pers No. 15a tahun 1999 dan Mendesak Dewan Pers membuat pernyataan di media massa terkait dengan adanya selebaran pelarangan meliput terhadap wartawan/jurnalis yang tidak terverifikasi, yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah/Swasta di Seluruh wilayah Indonesia.

Aksi Nasional ini juga dilakukan di Aceh, Jabodetabek, Banten, Medan, Bangka Belitung, Palembang, Lampung, Kaltim, Kalteng, Kalbar, NTB, Sulteng, Makassar, Maluku, Maluku Utara, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Fakfak, Papua, pungkas Topan, didampingi Hefrizal.

DAVID S
judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.