banner 728x250

DENGAN BEDAH BUKU “SUARA SAMUDRA CATATAN DARI LAMALERA” ANGKAT KEARIFAN LOKAL LAMALERA DALAM SEBUAH NOVEL

Kepala Badan Bahasa: Prof Dr Dadang Sunendar. foto/ebenezer
judul gambar

JAKARTA, MEDIATRANSPARANCY.COM – Dalam rangka menyemarakkan Bulan Bahasa dan Sastra 2017, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali menggelar bedah buku sastra, sebuah novel berjudul Suara Samudra Catatan dari Lamalera karya Maria Matildis Banda di Aula Gedung Samudra Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (11/10/2017).

Hadir pada acara bedah buku diantaranya Kepala Badan Bahasa, Prof Dr Dadang Sunendar, Kapus Pembinaan, Kapus Pengembangan dan Pelindungan, mahasiswa, pelajar, masyarakat sastra secara umum, para komunitas masyarakat rantau Flores Barat, Alor, dan tetua adat masyarakat NTT seperti Sony Keraf mantan Menteri Lingkungan Hidup 91999-2001), Nafsiah Mboy,  Yoseph Yapi Taum selaku pembedah novel yang juga Dosen Fakultas Sastra Unv Sanata Dharma, Yogyakarta, dan DR. Maria Matildis Banda, MS penulis Novel Suara Samudra yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Unv Udayana, Denpasar, Bali.

judul gambar

Badan Bahasa terus berupaya memberikan ruang apresiasi terhadap perkembangan dunia sastra, salah satunya dengan mengadakan bedah buku sastra.

“Ketika membaca buku, sejak kecil banyak sekali yang kita lupa, buku itu karangan siapa?. Hal yang sama sekarang ini terjadi dalam dunia perfilman, ini contoh saja, ketika kita menonton film yang bagus, yang kita puji seringkali adalah para aktornya, kita lupa memberikan penghargaan kepada sutradaranya,” kata Dadang Sunendar, Kepala Badan Bahasa saat memberikan sambutan pada acara bedah buku di Aula Gedung Samudra Badan Bahasa, Kemendikbud, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (11/10/2017).

Dengan hadirnya novel ini, kata Dadang, akan semakin mengembangkan dan memperkuat bahasa dan sastra di daerah, salah satu contoh melalui novel ini yakni mengangkat kekhasan dari daerah Lamalera di Pulau Lembata, NTT, yang dikenal sebagai daerah yang mempunyai tradisi penangkapan ikan paus.

“Bagi orang yang belum ke Lamalera pasti bertanya-tanya, karena kita mengetahui informasi itu (tradisi penangkapan ikan paus) sebatas apa yang disampaikan oleh media. Namun, kalau kita melihat ulasan pada bedah buku ini, rupanya ada sebuah kearifan lokal yang luar biasa dari cerita Suara Samudra ini. Tentunya. Kita harus membacanya secara utuh,” katanya.

Dadang menambahkan, dengan bagaimana latar belakang cerita yang demikian menarik digabungkan dengan alur ceritanya dan penokohannya menjadi sesuatu yang bagus, dan pasti banyak memberikan inspirasi kepada pengarang lainnya untuk membuat karya yang bermutu dengan mengangkat kearifan lokal suatu daerah.

Lebih lanjut, menurut Dadang, pemerintah daerah juga harus ikut andil dalam pengembangan sastra daerah. Sesuai dengan amanat UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang salah satu kalimatnya adalah pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah, berkoordinasi dengan lembaga kebahasaan (Badan Bahasa dan UPT-nya).

Oleh karena itu, kata Dadang, bahwa sastra daerah ini demikian banyak dan banyak juga yang berkualitas, ini harus diangkat dan dibantu terutama oleh pemerintah daerah, salah satunya dengan menerbitkan karya-karya sastra daerah, dimana kelokalan itu diangkat.

Sementara itu, Maria Matildis Banda penulis Novel Suara Samudra menuturkan, bahwa novel Suara Samudra Catatan dari Lamalera ditulis dalam proses yang panjang, sekitar sepuluh tahun (2007—2017). Gagasan penulisan novel dengan latar penangkapan ikan paus di Lamalera, berawal dari sebuah film dokumenter tentang tradisi penangkapan ikan paus di sana pada akhir tahun 1980 atau awal tahun 1990-an di rumah Bapak Ben Oleona.

Lebih lanjut, Maria menuturkan bahwa baginya, Lamalera, laut Sawu, dan tradisi nelayan ikan paus adalah sebuah tempat, ruang, dan waktu imajiner. Perjuangan di laut, bencana yang terjadi di laut adalah sesuatu yang sangat dalam maknanya untuk memenuhi hakikat karya sastra yang universal.

“Bukankah nenek moyangku orang pelaut?” Yang mempersatukan NTT adalah alam laut, yang mempersatukan tanah airku Indonesia adalah alam laut. Jadi, laut, samudra raya adalah repertoar imajiner yang kaya raya secara fisik, mental, dan spiritual. Lamalera adalah salah satu jalan bagi saya untuk memahami alam, kembali ke alam, belajar apa artinya pencarian identitas di tengah tekanan perubahan pada tingkat lokal, nasional, maupun global,” kata Maria.

Pada akhir acara, menanggapi seorang penanya terkait resepnya menulis hingga menghasilkan novelnya yang kesepuluh, Maria memberikan jawaban dengan mengutip pernyataan sastrawan terkemuka Indonesia, Mochtar Lubis, “Jika Anda ingin bisa menulis, tulis,” ucap Maria singkat. (Ebenezer Sihotang)

 

judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.