JAKARTA – MediaTransparancy.com|Sidang pembacaan Pembelaan (Pledoi) perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melibatkan terdakwa Diona Christy Silitonga, dilanjutkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, 18/9/2025.
Selain pembacaan Pledoi Penasehat Hukum, juga membacakan Pledoi pribadi terdakwa. Dalam Pledoi pribadinya disebutkan terdakwa dengan korban TPPU sudah lama kenal. Namun apa yang disampaikan terdakwa merupakan “kebohongan” yang luar biasa, karena terdakwa mengaku sebagai sahabat korban, pada hal tidak kenal sama sekali, tapi hanya kenal dari orang lain dan sebatas kenal. Hal itu disampaikan korban TPPU, pada Madia.
Usai pembacaan Pledoi pribadi terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, pimpinan Hasmy didampingi Iwan Irawan dan Merauke Sinaga, yang menyidangkan dan mengadili perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), “marah dan kesal” melihat terdakwa terkesan berpura pura mengeluarkan air mata (menangis) saat membacakan pembelaannya terhadap tuntutan Jaksa.
Terdakwa Diona Christy Silitonga yang di sebut sebut sebagai pelayan di gereja itu dituntut Jaksa Melda Siagian, 10 tahun penjara denda 200 juta rupiah, subsider 6 bulan kurungan, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana perkara No.479/Pid.Sus/2025,/Jkt.Utr, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Perbuatan terdakwa dinyatakan JPU terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melanggar hukum, atas kerugian korban berinisial MCHST Rp 1.6 miliar rupiah. Korban merupakan nasabah Bank JTrust, dimana terdakwa bisa mencairkan uang terdakwa tanpa prosedur. Korban tidak pernah memberikan tanda tangan di formulir Bank dan tidak pernah memberikan surat kuasa kepada terdakwa tapi uangnya bisa dicairkan terdakwa.
Dalam Pledoi pribadi terdakwa disebutkan, bahwa antara terdakwa dan korban merupakan teman lama. Uang korban digunakan untuk membiayai orang tuanya dan pengobatan orang tua terdakwa. Sembari menangis, terdakwa mengaku merupakan tulang punggung keluarga, lalu meminta maaf terhadap korban dan minta keringanan hukuman kepada Majelis Hakim.
Menanggapi tangisan pembacaan Pembelaan terdakwa, anggota Majelis Hakim Merauke Sinaga menegur terdakwa Diona Chisty Silitonga, Disini bukan tangis dan air mata, tapi pembuktian yuridis. Uang korban dikemanakan saja, tanya hakim ?, Terdakwa menjawab, dipake membiayai keluarga dan pengobatan ibu saya. Kata Majelis, “kalau berbuat bayarlah, masa mengambil uang orang sampai miliar miliaran”, ucap Merauke.
Menurut korban, Pledoi terdakwa Diona Christy Silitonga berisi kebohongan yang luar biasa, karena terdakwa mengaku sebagai sahabat korban, padahal hanya kenal dari orang lain dan sebatas kenal. Bahkan saat orang tua terdakwa masih hidup kami sudah menemui ibunya terdakwa bersama Lawyer dan Satpam Bank JTrust sebelum meninggal.
Dihadapan kami yang datang, “ibu terdakwa mengatakan, terdakwa Diona Christy Silitonga tidak pernah memberikan uang kepada ibu nya, hanya sesekali sejuta perbulan. Sehingga, nota pembelaan terdakwa bohong yang menyatakan uang korban untuk biaya rumah sakit ibunya”, ucap keluarga korban di PN Jakut.
Disampaikan, dalam persidangan pembacaan Pledoi di hadapan Majelis Hakim, terdakwa mengakui dan mengetahui secara sadar perbuatannya tersebut dan Hakim anggota mengatakan dengan jelas ini bukan persidangan air mata, kalau sudah mengetahui perbuatannya berarti dia harus bertanggung jawab, ucap Hakim anggota Merauke Sinaga.
Dengan tegas korban menyampaikan, bahwa terdakwa seorang pemuka agama “pendeta muda” yang seharusnya mengajak masyarakat untuk berbuat baik tetapi malah sebaliknya dan mencontohkan kejahatan makanya, sudah sepantasnya terdakwa diberikan hukuman maksimal agar tidak memanfaatkan statusnya sebagai pendakwah untuk menipu banyak orang lain lagi kedepannya.
Terdakwa merupakan seorang pegawai Perbankkan, yang mengetahui peraturan perbankkan dengan pasti, tetapi tetap melanggarnya untuk kepentingan pribadi maka sudah sepantasnya Diona Christy Silitonga dihukum maksimal agar tidak berpotensi lagi untuk menipu 286 juta masyarakat Indonesia, ungkap keluarga korban.
Terdakwa sama sekali tidak pernah melakukan pembayaran dan beritikad baik seperti yang dia bacakan, karena terdakwa sama sekali tidak pernah meminta maaf secara tulus kepada pelapor, terbukti karena sering sekali berbohong selama kasus ini berjalan.
Diano Christy Silitonga, telah melakukan pidana dengan nyata, dimana secara undang undang jelas telah melakukan perbuatan dengan sengaja dan Diona sangat mengetahui kalau perbuatannya salah. Sangat tidak dibenarkan apabila terdakwa menyalahkan saksi Pelapor ikut mendukung perbuatannya, justru pelapor dikelabui terdakwa dengan sikap seolah olah orang baik dan pemuka agama.
Saat penyidikan, penyidik memberitahukan terdakwa pernah memberikan cek kepada penyidik yang katanya untuk membayar uang pelapor, ternyata itu cek kosong dan terdakwa menipu penyidik juga.
Didepan keluarga dan jaksa serta pengacaranya, terdakwa menjanjikan akan membayar lunas uang pelapor dengan menunggu pencairan emas dari tantenya (Feby) yang sedang proses di Bea Cukai, ternyata terdakwa melalui Kuasa Hukumnya berbohong lagi dan lagi, karena niatnya untuk mengembalikan uang korban tidak benar dan tidak pernah terjadi. Terdakwa dan Kuasa Hukumnya berbohong dalam hal pengembalian uang korban berulang ulang baik kepada penyidik ataupun jaksa.
Didalam pledoi pribadinya dengan jelas terdakwa mengakui perbuatannya hanya memiliki alasan alasan yang sudah kita bantahkan. Tetapi dalam Pledoi Penasehat Hukumnya disebutkan, terdakwa seharusnya bebas karena Jaksa mengada ada dalam tuntutan. Sehingga jelas sekali antara Pledoi pribadi dan Pledoi Penasehat Hukumnya sangat bertolak belakang dan terkesan Penasehat Hukumnya tidak memahami duduk perkara, sebab Penasehat Hukum yang membacakan Pledoi adalah Penasehat Hukum yang baru, dimana Penasehat Hukum terdakwa selalu ganti ganti.
Oleh karena semua perbuatan yang jelas jelas telah merugikan korban, sehingga sudah sepantasnya terdakwa yang tidak berubah, angkuh, keras hati tersebut mendapatkan hukuman maksimal supaya dapat merenungkan perbuatannya di dalam tahanan, sehingga kedepannya terdakwa tidak memiliki niatan jahat lagi untuk menipu 286 juta penduduk Indonesia.
“Kami memohon kepada Majelis Hakim untuk bisa memahami hal ini dan memberikan keadilan bagi korban dan menyelamatkan 286 juta penduduk Indonesia dari potensi kejahatan yang mungkin akan dilakukan terdakwa lagi apabila terdakwa tidak dihukum maksimal”, ungkap keluarga korban, di PN Jakarta Utara, 18/9/2025.