banner 728x250

Djoko Tjandra Sulit Mendapatkan Kepastian Hukum dan Keadilan Yang Bermartabat

judul gambar

JAKARTA, MEDIA TRANSPARANCY – Kasus yang menyeret Djoko Tjandra dinilai bertentangan dengan konsekwensi pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kasus telah menyedot perhatian publik, media sosial dan di publis dalam berita berita mas media, hingga memakan tumbal oknum petinggi Polri dan oknum Kejaksaan Agung RI. Dalam kasus tersebut tentu karena banyak kepentingan-kepentingan yang menguntungkan pribadi para oknum. Hal itu di katakan Priyagus Widodo SH, mengamati perkembangan kasus Bank Bali tersebut pada Mediatransparancy.com 01/08/20.

judul gambar

Menurut Priyagus, kasus Djoko Tjandra mencuat ke publik berawal dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, tanggal 28 Agustus 2000. Dimana dalam amarnya, bahwa Djoko Tjandra dibebaskan hakim dari segala tuntutan hukum, (putusan onslag van rechtsvervolging).

Atas putusan Onslag tersebut Jaksa Penuntut umum mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA.RI) No.1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Putusan Kasasi amarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan vonis Onslag.

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum.

Dalam pertimbangan hukumnya, “Putusan Kasasi disebutkan, perbuatan Djoko Tjandra terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana atau tindakannya bersifat perdata”, ujarnya.

Masih menurut Priyagus, seharusnya putusan Kasasi MA.RI jo PN Jaksel itu yang harus dilaksanakan jaksa selaku eksekutor. Akan tetapi jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK ) putusan Kasasi tersebut.

Putusan MA.RI No.12 PK/Pid.Sus/2009, tertanggal 11 Juni 2009 amarnya mengabulkan permohonan PK jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Putusan PK menghukum Djoko Tjandra pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Menurut Priyagus, sesungguhnya putusan PK tidak memiliki kekuatan konstitusional untuk dieksekusi. Dimana dalam putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, meski diputuskan tahun 2016 namun sifat putusan ini hanya menegaskan kembali sesuatu yang sudah tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) UU No.81 tahun 1981 tentang KUHAP yang sudah berlaku sejak tahun 1981.

MK menyatakan, secara norma adalah konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain. PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dari segala tuntutan hukum.

Bahwa pembuat KUHAP jelas telah mengatur siapa yang punya legal standing untuk mengajukan PK yakni, terpidana atau ahli warisnya. Kalau penuntut umum mempunyai hak, tentu harus dinyatakan secara tegas dalam KUHAP.

Alasan mendasar mengapa hanya terpidana atau ahli warisnya punya hak mengajukan PK.
Jika dikaji putusan PK No.12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang menghukum Djoko Tjandra. Putusan PK tersebut telah melanggar pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4 KUHAP dan pasal 266 ayat (3) yang mengatur putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”, kata Priyagus.

Ditambahkan, PK semacam ini pernah terjadi pada kasus Muchtar Pakpahan dan Pollycarpus. Pemaknaan yang berbeda dan tidak konsisten dari para penegak hukum dalam mengimplementasikan peratuan hukum. Sehingga putusan tersebut jelas menimbulkan ketidak pastian hukum dan menimbulkan ketidak adilan, justru mepraktekkan suatu inskonstitusional, ujarnya 01/08/20.

Sementara saat ini terpidana Djoko Tjandra telah ditahan di Rutan Salemba, Jakarta setelah penangkapan dari luar negeri. Setelah dibawa ke Indonesia dari luar negeri langsung diserahkan Kabareskrim Polri ke Kejaksaan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dan Ditjen Pas selanjutnya dilakukan penahanan.

Penulis : P.Sianturi
judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.