SUMUT, MediaTranparancy.com – Pemerhati lingkungan Sumatera Utara, Jaya Arjuna menganalisa penyebab banjir bandang di Sumatera Utara karena rusaknya kondisi humus dan hutan, terutama yang berada dikawasan daerah tangkapan air, dan bukan karena kondisi alam melalui hujan.
Lebih separuh luas hutan di DTA pada kondisi kritis dan curah hujan pada saat kejadian katagori rendah yaitu 41 mm.
Menurutnya, kondisi keberadaan humus dan tegakan kayu menjadi factor yang sangat besar dalam menahan air tekan air hujan.
“Hujan yang turun ke bumi sebagian meresap ke tanah dan keluar sebagai mata air dan mengalir ke sungai,” ujarnya.
Jaya Arjuna menjelaskan, di Sumatera Utara ketebalan humus dikawasan hutan dapat mencapai 25-50 cm dan mampu menyerap air hingga 200 liter permeter persegi.
“Humus terbentuk secara alami melalui penumpukan dedaunan dan ranting yang jatuh disekitar pepohonan,” ungkapnya.
Proses alami inilah menurut Jaya Arjuna yang banyak rusak akibat dari aktivitas manusia dikawasan hutan seperti penebangan kayu.
“Proses banjir bandang ini akibat dari tidak tertahannya lagi air oleh tanah. Air dapat mencongkel permukaan tanah (tergerus) dan membawa seluruh material tanah termasuk kayu dan daun bekas sisa penebangan dan bebatuan yang berada di sekita,” sebutnya.
Pohon di Kawasan Bukit dan Pegunungan Tidak Boleh Asal Tebang
Pohon dikawasan pegunungan dan lereng perbukitan tidak boleh asal ditebang dan dimanfaatkan, meskipun individu atupun perusahaan yang telah mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). Sisa tebangan juga tidak boleh dibiarkan berserak di lantai hutan bekas tebangan. Sisa tebangan dapat membuat genangan air dan kumpulan genangan ini bila menyatu dan mengalir dalam volume besar dapat menyebabkan banjir bandang.
“Kegiatan ini semuanya memiliki ketentuan dan mempertimbangkan dari berbagai aspek,” katanya.
Disampaikannya, hal ini juga berlaku untuk pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan yang memiliki izin usaha kehutanan.
Pemerintah harus memiliki alat ukur dan sistem penanganan penyebab terjadinya bencana, dalam hal ini banjir bandang.
“Masalah pengawasan pemerintah harus membuat peta siapa yang punya lahan dan HGU di lokasi yang berdekatan dengan bencana,” paparnya.
Dilihat apa yang mereka lakukan mulai dari penebangan, bahkan bila diindikasi penyebab bencana, jelasnya, maka dilihat sampai sejauh mana tanggung jawab mereka (perusahaannya).
“Pemerintah bisa menggunakan drone sebagai pertimbangan untuk mengeluarkan izin. Pihak pemberi izin juga harus bertanggung jawab. Karena merusak lingkungan dengan kesengajaan termasuk kejahatan dengan hukuman berat,” tegas Jaya Arjuna.
Selain itu menurutnya, perusahaan pemilik izin usaha industri kehutanan, wajib mempertimbangkan kondsi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) nya, sebelum melakukan penebangan. Terutama menurut Jaya Arjuna kondisi luasan daerah tangkapan air, misal kawasan Danau Toba, seperti peristiwa banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan belum lama ini.
“Harus ada investigasi dan hitungan berapa persen perusahaan dapat menebang atau memanen pohonnya. Setelah melakukan pemanenan tidak boleh menumpuk sisa kayu diantara genangan air dalam waktu lama, karena beresiko terlepas menjadi banjir bandang,” terangnya.
Selain itu Jaya Arjuna juga mengatakan, penyebab banjir bandang dikawasan Danau Toba, juga dilihat dari letak topografi dan kondisi tanah bebatuan. Di Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan tekstur tanahnya terbentuk dari bekas aktivitas letusan gunung berapi.
“Kalau ada perusahaan pemilik HGU harus dilihat dan diukur kondisi tanah dan tutupan hutannya, serta sejarah pembentukan daerahnya,” sebutnya.
“Kalau dia terbentuk karena aktivitas vulkanik dari gunung yang masih aktif, maka sering terjadi getaran kecil (tremor) yang dapat merusak ikatan tanah dan bebatuan yang bila dimasuki air menyebabkan banjir bandang. Batuan akan menyembur dari perut bumi. Kejadian serupa pernah terjadi tahun 2021 yang menerjang Prapat, walau pada waktu itu tidak membawa batuan. Hal penting lainnya yan patut jadi perhatian adalah bencana ini telah mengakibatkan desa Simangulampe tertutup batuan besar,” jelasnya.
Ditambahkannya, desa ini tidak mungkin lagi dihuni secara nyaman. Kegiatan sosial ekonomi dan budaya terpaksa dipindahkan. Kehidupan sekitar dua ratusan orang harus jadi perhatian. Tidak cukup sekedar ganti rugi.
“Yang bersalah sebagai penyebab bencana juga harus dihukum berat. Dampaknya bukan hanya sekedar kerugian lingkungan, tetapi juga merenggut jiwa manusia,” sebutnya.
Penulis: Jefry Sitanggang