JAKARTA – mediatransparancy.com | Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr. Qurrata Ayuni, menyatakan bahwa monopoli negara atas pengelolaan zakat melalui Badan Zakat Nasional (BAZNAS) melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Hal ini disampaikan Dr. Ayuni saat memberikan keterangan ahli dalam sidang lanjutan judicial review Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dilaksanakan bertempat di lantai 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Gambir Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) pada, Selasa (22/04/2025).
“Ketika negara memaksa warga untuk menggunakan satu kanal resmi dan menutup saluran alternatif yang sah dan konstitusional, maka negara tidak lagi berada dalam posisi netral, melainkan menjadi aktor teologis yang memonopoli ekspresi ibadah umat,” tegas Qurrata Ayuni saat ditemui wartawan usai persidangan.
Dr. Qurrata Ayuni, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), saat memberikan keterangan sebagai ahli, terkait monopoli negara atas pengelolaan zakat melalui Badan Zakat Nasional (BAZNAS) melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Hal ini disampaikan Dr. Ayuni dalam sidang lanjutan judicial review Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dilaksanakan bertempat di lantai 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI, di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Gambir Jakarta Pusat Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) pada, Selasa (22/04).dok-istimewa/hms-izw@cp-Jag
Permohonan uji materi ini diajukan terhadap sejumlah pasal yang memberikan kewenangan dominan kepada BAZNAS, yang dinilai telah menciptakan praktik monopoli kelembagaan dalam ibadah zakat. Dr. Ayuni menilai bahwa dominasi negara ini telah masuk kategori state overreach.
“Zakat adalah ibadah yang bersifat spiritual dan sosial. Ketika negara mengambil alih secara penuh, maka telah terjadi reduksi terhadap hak masyarakat sipil dalam mengekspresikan ibadah,” tegasnya.
Dalam keterangannya, Dr. Ayuni juga menggunakan pendekatan uji proporsionalitas yang dikenal dalam hukum konstitusi internasional, sebagaimana dikembangkan oleh Robert Alexy dan Aharon Barak. Ia menyimpulkan bahwa monopoli pengelolaan zakat oleh negara dianggap gagal memenuhi empat tahap pengujian proporsionalitas.
“Manfaat yang dijanjikan negara tidak sebanding dengan kerugian konstitusional yang ditimbulkan. Hak umat Islam untuk menyalurkan zakat sesuai keyakinannya, serta peran lembaga masyarakat seperti LAZ, justru terpinggirkan,” kata Dr. Ayuni lagi.
Dirinya juga menyinggung pelanggaran prinsip subsidiaritas, di mana negara seharusnya hanya mengambil alih jika masyarakat tidak mampu, bukan sebaliknya. “LAZ (Lembaga Amil Zakat) telah membuktikan mampu dan dipercaya umat. Maka intervensi negara yang berlebihan justru melanggar prinsip tata kelola demokratis,” imbuhnya.
Dalam penutup keterangannya, Dr. Ayuni juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia harus dipahami sebagai living constitution yang responsif terhadap dinamika sosial keagamaan. “Negara wajib menghormati partisipasi masyarakat sipil, bukan malah mereduksi dan mengontrolnya atas nama efisiensi atau tertib administrasi,” tandasnya.
Sidang lanjutan judicial review tersebut menjadi momentum penting dalam menimbang kembali arah kebijakan zakat nasional: apakah akan tetap dalam model sentralistik, atau membuka ruang partisipatif dan pluralis sesuai amanat konstitusi terhadap lambaga yang konsekuen dibidangnya.[]dok-ist./hms-izw/JAG