JAKARTA, mediatransparancy.com – Pembebasan lahan oleh Dinas Pertamanan dan Hutan (Distanhut) DKI Jakarta pada tahun anggaran 2019 seluas 11.165 m2 di Jalan Rorotan, Jakarta Utara diduga terjadi persekongkolan yang telah terorganisir dan terafiluasi dengan SKPD tersebut.
Pasalnya, pembebasan lahan yang didasari Pergub DKI Jakarta Nomor 404 Tahun 2016 tanggal 29 Desember 2016 tersebut memunculkan kecurigaan adanya permainan kotor dalam proses pelaksanaan pembebasan lahan tersebut.
Salah satu yang menjadi fokus perhatian adalah munculnya sosok BA pada saat detik-detik terakhir proses pembayaran pembebasan tanah, yang kemudian diketahui telah membeli lahan yang sedang berproses dengan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta tersebut.
Demikian disampaikan Sekjen Gerakan Cinta Indonesia, Hisar Sihotang kepada Mediatransparancy.com, Senin (5/12/2022) di kantornya.
Menurutnya, bahwa proses transaksi jual beli lahan di Jalan Rorotan, Jakarta Utara sejatinya antara Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI dengan ahli waris yang sah yang menawarkan lahannya ke Pemprov DKI.
“Tapi proses pembayaran yang terjadi adalah antara Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI dengan BA, bukan ahli waris yang menawarkan tanahnya ke dinas terkait,” ujarnya.
Dikatakan Hisar, bahwa Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI telah “menciptakan” robot berbentuk manusia untuk membeli lahan yang ditawarkan warga.
“Ini sebenarnya permainan mafia tanah yang telah usang, tapi oleh pejabat Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI diorbitkan lagi,” ungkapnya.
Dikatakan Hisar, jika Suzi Marsitawati selaku Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI mengarahkan anak buahnya untuk membeli lahan tersebut langsung dari ahli waris pemilik sah, Pemprov DKI akan untung banyak.
” Untuk kasus ini, ank TK juga paham, tidak usah sekelas Kadis Suzi Marsitawati. Jika mereka membeli langsung tanah itu kepada yang menawarkan, mereka dapat banyak untung. Tapi konsekuensinya, jika mereka membeli langsung, mereka tidak dapat bagian, sehingga kasus Munjul muncul, Rorotan minim sorotan,” paparnya.
Ditambahkannya, untuk memperoleh lahan tersebut, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI harus membayar dengan angka diluar nalar, yakni naik sekitar 210 persen dari harga NJOP.
“Ada dugaan pembebasan lahan di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta terjadi kenaikan hingga 210 persen dari harga NJOP,” katanya.
Untuk itu, pihaknya meminta Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono memeriksa para mafia tanah yang masih bergentayangan di Dinas
Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta.
“Kedatangan Heru Budi Hartono sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta memberikan secercah harapan publik untuk bisa membongkar semua permainan pembebasan lahan di unit kerja tersebut yang hingga kini mafia-mafia tanahnya masih bergentayangan,” imbuhnya.
Sementara itu, Kadis Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Suzi Marsitawati yang dikonfirmasi terkait dugaan penggelembungan harga tanah, serta masih adanya mafia tanah di unit SKPD yang dia pimpin hingga kini masih bersikap cuek.
Hal yang sama juga dipertontonkan anak buahnya, yakni Sekdis Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Fajar.
Untuk diketahui, berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 157 tahun 2019, unit Pengadaan Tanah Kehutanan berubah nama menjadi Unit Pengadaan Tanah Pertamanan dan Hutan Kota.
Dinas Kehutanan pada tahun 2019 melakukan pengadaan tanah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Makam atau tanah untuk areal Tempat Pemakaman Umum (TPU) pada 5 lokasi seluas 27.737 m2 senilai Rp 156.067.002.500. Dari lima lokasi tersebut, tiga lokasi diantaranya berada di jalan Raya Rorotan, Cilincing Jakarta Utara seluas 11.165 m2 senilai Rp 29.866.375.000 dengan rincian sebagai berikut, SHM No.5420 atas nama Ba dengan luas 5.003 m2 senilai Rp13.383.025.000, SHM No.1963 atas nama Ba dengan luas 3.135 m2 senilai Rp 8.386.125.000, SHM No.1986 atas nama Ba dengan luas 3.027 m2 senilai Rp 8.097.225.000.
Dan pembayaran telah dilakukan kepada kepada Ba dengan total senilai Rp 29.866.375.000 pada tanggal 24 Juli 2019 berdasarkan bukti SP2D Nomor 000827/SP2D/VII/2019.
Padahal, pada tanggal 1 Maret 2019, Dinas Kehutanan menerima surat permohonan pembebasan lahan dari masyarakat, yaitu dari FP dan CA untuk membebaskan lahan milik keluarga mereka (ahli waris H. AR) seluas 15.994. M² atas nama Ni dengan bukti kepemilikan SHM Nomor 1986 seluas3.027 m² atas nama CA, SHM Nomor 1982 seluas 4.417 m², SHM Nomor 1963 seluas 3.135 m² atas nama NI, SHM Nomor 1980 seluas 5413 m².
Dari 4 lokasi yang ditawarkan tersebut, hanya dua lokasi yang ditindaklanjuti proses pembeliannya, yaitu SHM Nomor 1986 seluas 3.027 m², dan SHM Nomor 1963 seluas 3.135 m².
Anehnya, saat pelaksanaan pembayaran pada tang 18 Juli 2019, Dinas Kehutanan tidak membayar kepada FP dan CA selaku pemilik tanah yang menawarkan tanahnya, tetapi dibayar kepada Ba senilai Rp 16.483.350.000 untuk dua lokasi tanah seluas 6.162 m² dengan bukti kuitansi Nomor 00512/SPP/20401000/VII/2019 Harga tanah yang dibayarkan kepada Ba tersebut adalah senilai Rp 2.675.000/m² atau naik 210% dari nilai NJOP yang hanya senilai Rp.1.274.000/m².
Dari informasi yang diketahui, bahwa pada saat akhir proses pelaksanaan pengadaan tanah dengan masyarakat yang menawarkan tanahnya, pihak Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta meminta Ba untuk membeli tanah tersebut dari pemilik yang menawarkan tanahnya ke Dinas kehutanan.
Dalam transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh pemohon kepada pihak lain dalam masa proses pembebasan lahan, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI tetap memproses tanah yang lagi berproses kepihak lain, dan ini disinyalir bentuk permainan untuk memuluskan penitipan harga nilai jual yang lebih tinggi.
Dan terbukti. Harga tanah/m² dilokasi tersebut yang hanya senilai Rp.1.274.000 sesuai NJO, namun Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI membayar harga tanah kepada Ba senilai Rp.2.675.000/m².
Tidak hanya problematika harga tanah, lahan yang dibeli Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI dari “mafia” ciptaanya juga terkesan sangat dipaksakan untuk mengejar fulus.
Bahwa kondisi lahan yang ditawarkan tidak segera dapat dibangun (tidak siap pakai), serta tidak sesuai dengan rujukan dalam perencanaan teknis pengembangan dan pembangunan RTH.
Selain itu, tdak ada kriteria atau dasar pertimbangan yang jelas atas pemilihan lokasi pembebasan lahan. Proses pengadaan tanah dengan kondisi fisik tanah yang tidak layak, tidak siap pakai, tidak sesuai peruntukan seperti lokasi Jalan Rorotan tersebut. Anggiat