banner 728x250

Pungutan di Sekolah: Komite Sekolah Punya Kuasa, Kepala Dinas Diam Saja

Lsm lintas rakyat saat kunjungan klarifikasi di SMPN 115
judul gambar

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jakarta, Transparancy.com – Pendidikan sangatlah penting. Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan merupakan hak azasi bagi setiap individu.Bahkan pemerintah dibentuk dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

judul gambar

Penyelenggara Negara telah menerapkan program wajib belajar 12 tahun. Peraturan demi peraturan dibentuk oleh Negara. Mulai dari penyusunan sistem pengelolaan, penyusunan kurikulum, mempersiapkan SDM yang terlatih hingga sarana prasarana. Anggaran pada bidang bidang pendidikan pun disisihkan hingga seperlima dari seluruh APBN. 20 persen anggaran digelontorkan demi tercapainya tujuan mencerdaskan bangsa.Namun hingga kini, masyarakat Indonesia yang tetap saja belum bisa merasakan nikmatnya bangku sekolah.

Tampaknya masih terlalu banyak penyimpangan pada bidang penyelenggaraan pendidikan. Di sana-sini masih terlalu banyak carut-marut. Justru penyimpangan banyak terjadi di tubuh penyelenggara pendidikan itu sendiri. Korupsi pada pengadaan peralatan penunjang sekolah, pengadaan sarana yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, pengadaan peralatan yang tidak ditunjang dengan tenaga pendidik yang mampu memberikan pembelajaran pada sarana tersebut, pengadaan sarana yang bahkan tidak dapat dipergunakan sama sekali, pengurangan bobot pada pembangunan sekolah, penarikan pungutan pada tenaga guru yang ingin mengikuti pelatihan, pungutan kepada calon-calon kepala sekolah, hingga pungutan-pungutan kepada siswa berlabel “sumbangan sukarela” mengatas namakan Komite Sekolah.

Pungutan-pungutan berlabel Sumbangan Sukarela

LSM Lintas Rakyat kali ini sengaja melakukan penelusuran berkenaan dengan banyaknya laporan yang masuk mengenai maraknya pungutan di sekolah-sekolah di DKI Jakarta.
Komite Sekolah atau Wakil Orang Tua Kelas (WOTK) merupakan perwakilan orangtua murid yang dibentuk agar dapat menjadi jembatan bagi orangtua siswa dan pihak sekolah. Sejatinya, Komite Sekolah dibentuk untuk menampung keluhan, saran dan kritik dari orangtua untuk disampaikan kepada pihak sekolah. Saran tentang upaya peningkatan kwalitas mutu pendidikan tentu sangat diperlukan demi meningkatkan kwalitas kecerdasan bangsa.
Dari laporan, kami menerima laporan, bahwa dengan kewenangannya, Komite Sekolah seringkali mengumpulkan orantua murid untuk menarik sumbangan-sumbangan. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat meningkatkan kwalitas pendidikan, tetapi memiliki pesan-pesan dari acara yang bersifat komersial.

Orangtua siswa yang tidak berminat, atau yang tidak mampu seringkali terjebak pada sebuah keadaan yang serba salah. Rata-rata orangtua tidak berani untuk tidak mengikutsertakan anaknya pada kegiatan atau permintaan sumbangan sukarela. Mereka juga tidak berani sampai menyatakan keberatan. Mereka takut anaknya yang mendapat tekanan di sekolah.

SMA Negeri 61, Duren Sawit – Jakarta Timur
SDN KEBON Bawang & SMP 99 Edaran
Dari sebuah Draf RKAS yang dibuat oleh SMA Negeri 61, ditemukan adanya rencana pungutan terhadap siswa-siswi atas nama Komite Sekolah. Dalam Draft tertulis rencana jumlah pungutan, estimasi pemasukan serta rencana penggunaan anggaran. Tertulis pungutan akan digunakan unutk menggaji guru honorer, asuransi guru berprestasi, renovasi lapangan basket, renovasi tampak depan pemeliharaan AC, dan banyak lagi.
Pada akhir draft RKAS bertanggal 19 September 2013 tersebut tertera tandatangan Ketua Komite Sekolah Agus Suprayogi, SH, MH.; Bendahara Komite Sekolah Dra. Luh Utarini, MM.; mengetahui Kepala Sekolah Drs. H. Sukandi, NIP. 1964042211993031003.

Demi menghindari salah persepsi, kami menindaklanjuti temuan dengan mengirimkan surat permohonan klarifikasi.
Setelah mengirimkan surat pemberitahuan, kami mendatangi sekolah untuk bertemu dengan kepala sekolah. Tetapi pihak sekolah sangat tertutup. Kami mencoba meminta untuk bertemu pihak tata usaha agar dapat membuat janji dengan kepala sekolah, tapi secara tegas pihak keamanan tidak memberikan kami ijin masuk tanpa alasan.
Keesokan harinya, kami mencoba datang kembali untuk meminta klarifikasi namun kami mendapat perlakuan yang sama.

SMP Negeri 193, Cakung – Jakarta Timur
Pungutan 193
Dari selebaran berkop Wakil Orang Tua Kelas (WOTK) Bilingual SMP Negeri 193 kami menenmukan rencana Science Camp ke Jogjakarta. Rencana Science Camp tersebut tanggal 29 April 2012 hingga Sabtu 5 Mei 2012. Setiap siswa dikenakan biaya sebesar Rp. 1.650.000,- (satu juta enam ratus limapuluh ribu rupiah).

Yang menarik, ada 3 orang dari satu kelas yang tidak mengikuti kegiatan tersebut karena orangtua siswa tidak mampu membayar. 3 orang siswa tersebut diwajibkan untuk tetap mengikuti kegiatan yang setaraf. Mereka masih anak-anak. 3 orang siswa datang ke sekolah dengan perasaan tertekan. Karena guru-guru yang ada mengajar 3 siswa ini hanya sekenanya.

Di sekolah inipun ada sebuah aturan yang agak janggal.
Para siswa diwajibkan mengenakan kaos kaki berwarna putih bertuliskan “SMPN 193” yang dijual seharga Rp. 25.000,- sepasang. Bila diketahui ada siswa yang tidak mengenakan kaos kaki tersebut, siswa tetap harus membeli dengan berhutang supaya dibayarkan keesokan harinya.

SMP Negeri 115, Tebet – Jakarta Selatan

Minggu, 14 September 2014; kami mendapat laporan dari orangtua murid yang keberatan dengan adanya tarikan sumbangan sukarela kepada pihak sekolah senilai Rp. 3.300.000; dengan bukti berupa kwitansi pembayaran untuk periode Juli-Desember.

Senin, 22 September 2014, dengan membawa surat pemberitahuan, kami datang ke SMP N 115 untuk meminta klarifikasi pada kepala sekolah. Karena kepala sekolah sedang menerima tamu, kami pun ditemui oleh sdri. Sulistyowati. Kami diterima diluar ruang kepala sekolah. Sulistyowati menjelaskan, “Orangtua murid yang datang sendiri dan memberi sumbangan kepada sekolah”.

Kami bertanya, “Kenapa ada tulisan periode Juli-Desember 2013?” Sulistyowati tidak memberikan argumentasi dan mengatakan bahwa kepala sekolah tidak tahu menahu masalah ini. Ini merupakan kesepakatan orangtua murid. Dia tidak menjawab alasan pertanyaan tentang tulisan periode Juli-Desember 2013.

Jumat, 26 September 2014, Kami datang kembali ke SMP N 115 untuk meminta keterangan langsung dari kepala sekolah. Kepala Sekolah, Pesta Maria Sinaga menerima kami. Dia menerima surat kami, meminta tata usaha menandatangani tanda terima surat. Pesta Maria Sinaga, berjanji akan memberikan surat undangan klarifikasi terhadap surat kami. Kepsek meminta agar surat tersebut jangan diteruskan.

Jumat, 3 Oktober 2014, atas surat undangan dari SMP N 115 kami datang. Hari itu kepala sekolah didampingi oleh 3 orang dari komite sekolah dan seorang yang mengaku dari LSM juga.
Kepala sekolah menerangkan bahwa penarikan sumbangan tidaklah memaksa, hanya 25% siswa yang membayar sumbangan sukarela tersebut; Kepala Sekolah dan Komite Sekolah menjelaskan bahwa terjadinya sumbangan sukarela karena kurangnya anggaran yang diterima sekolah.

Sumbangan sukarela tersebut dipergunakan untuk pembayaran rekening PLN (karena ada pendingin ruangan di setiap kelas), menggaji 35 tenaga guru honorer karena sebelumnya SMP N 115 telah masuk program RSBI, biaya penambahan pelajaran pada kelas 8, juga digunakan untuk sarana prasarana sekolah yang rusak seperti perbaikan kamar mandi dan AC.

Yang menjadi pertanyaan kami adalah:
Apakah ketentuan dalam PP no. 17 tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan; Permendikbud no. 60 tahun 2011, Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama; Instruksi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta no. 1526 tahun 2012, tentang Larangan Pungutan di Sekolah Dalam Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan 12 tahun tersebut bisa dilanggar dengan wewenang Komite Sekolah ?.Kwitansi 115

Seberapa besar wewenang Komite Sekolah hingga mampu melebihi kewenangan kepala sekolah ?, Mengapa Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang telah mengetahui laporan kami tapi diam saja ?, Mengapa gubernur, kepala dinas dan jajarannya membiarkan hal itu terjadi?, Apakah peraturan tersebut hanyalah tulisan semata tanpa wajib dilaksanakan dan tindak lanjut bagi para pelanggarnya? (Lina,JMA)

judul gambar

Response (1)

  1. Ini berita tahun 2014, apa ada tindak lanjutnya, karena sepertinya pungutan tetap berlanjut, dan ada pembelian seragam yang dipaksakan, dan untuk tidak dibilang pungutan sekolah, penjualan seragam, buku dan alat tulis melalui koperasi.
    Pembelian seragam untuk batik, baju OR, topi dan dasi masih wajar.
    Pemaksaan pembelian seragam lain di sekolah sdh tidak wajar. (diluar batik dan OR).
    Penyeragaman sepatu dengan merek tertentu walau tidak dijual di sekolah, ini apa lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.