banner 728x250

Putusan Kasasi MA Diminta Kembalikan Tanah Korban Yang Dikuasai “Mafia” Peradilan

judul gambar

JAKARTA, MEDIA TRANSPARANCY – Mahkamah Agung (MA) diminta dalam memutuskan suatu perkara haruslah memberikan keadilan terhadap korban “mafia” peradilan dalam perkara perkara tanah yang disidangkan di Pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi.

Pasalnya, masyarakat dalam persidangan untuk menuntut haknya sangat sulit mendapat keadilan di negara hukum Indonesia tercinta ini, apalagi yang tidak mengerti dan awam hukum serta keberadaannya miskin dan tidak punya becking. Maka akan menjadi korban mafia hukum dan tidak akan mendapatkan keadilan berdasarkan ke Tuhan an yang Maha Esa, yang selalu diucapkan Majelis hakim saat memutuskan suatu perkara.

judul gambar

Apalagi peradilan terkait kasus tanah, sangat sulit keadilan dirasakan masyarakat dari hakim Pengadilan tingkat pertama Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi Mahkamah Agung (MA). Hal itu dialami Yumianto, yang diduga korban mafia tanah tergugat dalam putusan perkara nomor. 898/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Brt digugat oleh PT Pesona Sahabat Rumiri (PT.PSR). Gugatan tersebut didasarkan atas perjanjian dimana Yumianto selaku pembeli tanah dari warga akan melepaskan tanahnya kepada PT Pesona Sahabat Rumiri.

Yumianto selaku pembeli tanah 11 hektare menggunakan uang pribadinya dari warga Desa Cikuda, Kecamatan Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan tanahnya masih terdaftar dalam buku tanah Desa setempat, buku tanah Kecamatan, namun status tanahnya bisa berubah kepemilikan menjadi nama perusahaan walau belum menerima pelunasan transaksi jual beli. Yumianto menjadi tergugat di Pengadilan atas dasar perjanjian, dimana Yumianto selaku pembeli tanah dari warga akan melepaskan tanahnya kepada PT. PSR.

“Dengan alasan pemeriksaan surat surat pelepasan hak dari warga, tanpa curiga surat surat diserahkan langsung oleh Yumianto. Namun surat tersebut sudah berpindah tangan ke Rudy Cahyadi Sukandadinata, pihak perusahaan PT Pesona Sahabat Rumiri, padahal belum menerima pelunasan pembayaran tanah dari PT. PSR tersebut”, ujar Yumianto 30/5/2021.

Anehnya, PT PSR, menggunakan alibinya bahwa tergugat tidak bisa memenuhi luas tanah sesuai perjanjian. Padahal menurut Yumianto, melalui kuasa hukum sudah dijelaskan bahwa 11 ha sudah diserahkan dan dalam addendum perjanjian luas yang diperjanjikan adalah 10 hektare. Tidak terpenuhinya luas tanah seluas 1,5 hektare sehingga tanah dikembalikan PT. PSR, akan tetapi Yumianto punya bukti pengembaliannya tanpa ada penjelasan kenapa dikembalikan, ucapnya.

Yumianto menduga, mungkin ada prasangka pihak PT.PSR tanah tersebut bermasalah karena ada surat somasi dari PT BADRA. Pada hal pihaknya telah membantah surat somasi tersebut. Sebagaimana surat pernyataan yang diterbitkan Camat Parung Panjang, Jawa Barat, sesuai nomor 133.IV.2019, menyatakan, Saudari Bony selaku kuasa dari PT BADRA telah dijadikan tersangka dalam kasus penyerobotan tanah yang dilaporkan Yumianto. Laporan yang dibuat Yumianto dikarenakan surat somasi tidak memiliki alas hak sebagaimana surat nomor : B/741/IX/2019/Dit Reskrimum, Polda Jawa Barat.

Walau Yumianto memiliki alas hak atas tanah yang dibelinya dari warga Cikuda itu, namun sangat kecewa, ” bagaikan disambar petir disiang bolong” mendengar putusan sidang perdata Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada hal saat persidangan melalui Penasehat hukum, Yumianto sudah meminta supaya dihadirkan saksi dari PT BADRA. Sebab gugatan PT PSR, mendalilkan tanah yang dibelinya dari Yumianto, tumpang tindih dengan kepemilikan PT BADRA, tapi permintaan pemanggilan saksi tidak di kabulkan hakim Pengadilan Jakarta Bara.

“Apakah majelis hakim pengadilan tidak mengerti logika, sebab kalau yang bisa menjelaskan tanah itu bukan pihak ketiga, melainkan pemilik tanah yang bisa menerangkan warkah tanahnya dengan di dukung dokumen atau alas haknya atas tanahnya, bukan karena alibi seperti kepemilikan PT BADRA”, ucapnya 29/5/2021.

Sementara menyikapi putusan Pengadilan pun Yumianto sangat bingung, sebab di satu sisi dalam putusan tidak membatalkan perjanjian Yumianto dengan Rudy Cahyadi Sukandadinata (PT PSR), namun membatalkan addendum perjanjian. Padahal alasan tidak membatalkan perjanjian dikarenakan produk Notaris tapi kok bisa membatalkan addendum yang juga produk Notaris, bagaimana putusan majelis hakim tersebut, ujarnya.

Lebih aneh lagi, dalam gugatan minta putusan pengadilan membatalkan perjanjian menjadi “cacat hukum perjanjiannya”, dimana letak kepastian hukumnya ketika dimohon dibatalkan demi hukum diputuskan cacat hukum.

Yumianto saat persidangan meyakini majelis hakim PN Jakarta Barat, akan bertindak profesional. Namun kenyataannya majelis hakim gagal membuktikan atau pura pura tidak melihat bahwa Yumianto pemilik surat tanah. Yumianto yang membeli langsung dari warga dengan uang pribadinya dikalahkan PT. PSR, yang membeli dari Yumianto tanpa pelunasan dengan berbagai alibi diatas (tanah bermasalah, tidak penuhi luas yang diperjanjikan). Sementara, yang paling parah tanpa pelunasan tapi PT PSR telah kuasai tanah serta mengalihkan perizinan tanah bahkan telah miliki izin lokasi diatas tanah tersebut.

Dalam permasalahan yang dialami Yumianto tersebut, pihaknya berharap hakim di tingkat Kasasi dapat melihat permasalahan dengan lebih profesional dan adil. Kelalaian yang sengaja dilakukan majelis hakim PN Jakarta Barat, supaya menjadi pertimbangan dan dianulir Mahkamah Agung (MA) dalam memutuskan Kasasi tersebut”, ucapnya.

Bukan hanya masalah sidang Perdata saja yang menimpa Yumianto kasus laporan Pidana yang dilaporkan Yumianto juga tidak digubris penyidik. Yumianto harus gigit jari karena perkaranya dihentikan penyidik sebagaimana surat penghentian No. B/592/VIII/2020/Dit Reskrimum yang intinya “untuk kepastian hukum perkaranya dihentikan demi hukum”.

Kata Yumianto, penanganan perkara tersebut penyidik telah memeriksa 26 saksi, dilakukan gelar perkara dan tersangka sudah ditetapkan, bahkan sudah didaftarkan untuk disidangkan pada bulan desember 2019, namun pada bulan Agustus 2020, sesuai gelar perkara, penyidik menerbitkan surat ketetapan S Tap/121.b/VIII/2020, Ditreskrimum, tanggal 19 Agustus 2020.

Bahkan jawaban pengawas internal (Irwasda Polda Jabar) dalam suratnya menjelaskan bahwa perkara telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dan tersangka tidak pernah menghadiri sidang, kemudian memberikan SP2HP (berisikan penghentian kasus), dan hal inipun serupa dengan jawaban dari Kompolnas melalui surat Nomor:B-1583D/Kompolnas/01/2020, kata Yumianto.

Penulis : P. Sianturi
judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.