banner 728x250

PWRI DORONG REVISI UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

judul gambar

JAKARTA, MEDIATRANSPARANCY.COM – Pesatnya perkembangan era digitalisasi dan tindakan refresif pidana yang dikenakan kepada wartawan akhir akhir ini sangat mengkwatirkan hingga kepada jeruji besi yang mengakibatkan kepedihan bagi anak/keluarga wartawan di rumah.

Dewan Pers yang dikomandoi Joseph Adi Prasetyo periode 2016-2019 justru “mengamininya” dan terkesan tidak memiliki empati terhadap peristiwa yang terjadi dan justru menyalahkan wartawan yang terkena delik hukum.

judul gambar

Sedangkan disisi lain, sebagai profesi, kewartawanan tidak hanya menyangkut segi teknik jurnalistik, tapi banyak unsur yang ada didalamnya. Dimulai dari mencari informasi, konfirmasi, analisis peristiwa, penulisan, hingga dipublikasi oleh perusahaan pers,Dalam aktifitas profesi itu, apakah wartawan  dapat dipidana ketika menjalankan profesinya?

Ataukah seharusnya Pers diberikan jaminan secara utuh kebebasannya ketika dalam menjalankan tugas profesi tersebut memiliki hukum yang bersifat khusus (lex specialis).

Yang sering terjadi, dalam pemberitaan adalah pemberitaan memfitnah atau menghina yang mengakibatkan merusak nama baik orang lain ataupun institusi, tulisan itu dianggap tidak mempunyai nilai berita. Hingga si wartawan masuk unsur pidana. Akan tetapi sewajarnya wartawan juga tidak dapat diproses hukum pidana atas kesalahannya.

Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), DR. Suriyanto, SH, MH, MKn memberikan pendapatnya bahwa perhelatan pidana kepada wartawan yang mengarah pidana, disebabkan oleh Undang-Undang No.40 tentang PERS masih belum sepenuhnya menyentuh permasalahan-permasalahan PERS dan kewartawanan secara menyeluruh.

Ia setuju bilamana hukum pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sadar dan sengaja melakukan kesalahan dalam pemberitaannya. Karena kebebasan pers harus dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional. Akan tetapi, wartawan tidak serta merta juga langsung diproses secara pidana atas kesalahannya karena wartawan memiliki kekhususan hukum.

Menurutnya, UU No. 40/1999 tentang Pers hanya mengatur mengenai sanksi pidana denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan azas praduga tidak bersalah atau masalah periklanan yang dilarang (pasal 18), dan mengatur hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah.

Suriyanto menekankan bahwa sebenarnya ada ketidakseimbangan dalam PERS nasional kita, karena yang salah adalah UU PERS itu sendiri karena tidak mengatur mengenai potensi potensi masalah hukum yg sangat rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan.

Artinya kedepan UU Pers ini sudah sangat perlu (urgen) untuk direvisi sesuai dengan pesatnya pertumbuhan pers digitalisasi saat ini, ungkap Suriyanto yang mendorong adanya perubahan dalam undang-undang untuk melindungi wartawan dan pesatnya digitalisasi informasi saat ini.

(Red).

 

judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.