banner 728x250

Refleksi Akhir Tahun 2020: Membangkitkan Kompetensi Sosial dengan Hati, Hati-hati dan Tidak Sesuka Hati

judul gambar

Penulis: Djodjo Sutardjo, Pegiat Sosial Tinggal di Cirebon

Tak terbantahkan, di penghujung tahun 2020 fenomena sosial berupa peningkatan angka pengangguran yang berujung pada peningkatan kemiskinan melanda republik ini. Peningkatan itu diperparah lagi dengan munculnya bencana biologis berupa pandemik Covid-19 yang menurut catatan penulis merupakan bencana terbesar sepanjang sejarah republik yang memasuki usia 75 tahun, terhitung sejak Indonesia merdeka.

judul gambar

Carut marut berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berakibat pada krisis karakter dan krisis moral ini mengantar Indonesia pada indeks pembangunan manusia di titik rendah. Potensi Indonesia sebagai negeri zamrud khatulistiwa, tongkat kayu jadi tanaman dan negeri yang gemah ripah loh jinawi, begitu kata grup band Koes Plus, sudah tak pantas dan tak layak lagi kita sandang. Kenapa ? Karena para pemimpin di negeri ini lebih suka konsumtif (baca import) dari pada produktif (eksport).

Mencintai produk dalam negeri cuma sekada lips-service belaka. Yang paling kelihatan dan mudah dikerjakan saja, seperti kebutuhan gula dan garam yang sebenarnya kita punya potensi segalanya, malah sengaja diciptakan untuk terus menerus import. Para petani gula dan garam terdzolimi secara sistematis. Dan hebatnya, para pengambil kebijakan tega-teganya mengeruk keuntungan pribadi dan membiarkan para petani gula dan garam merana sepanjang zaman. Para pengambil kebijakan bekerja seperti tidak pakai hati, apalagi hati-hati, yang terjadi malah dilakukan dengan sesuka hatinya.

Para pengawas (legislatif) makin ompong, bahkan cenderung berkolaborasi untuk bersemangat import. Kenapa? Karena ada udang di balik batu. Ada berbagai untung di dalamnya. Bahkan arogansinya mereka seperti lupa dengan kondisi saat ini, dimana sebagian masyarakat sedang berjuang menjerit mempertahan hidup dan mati di tengah multi krisis.

Sejenak penulis mengelus dada.

Hati mereka beku, kepekaan sosial hanya sebatas retorika belaka. Yang terjadi mereka bergegas dan berlomba investasi menjelang pensiun atau menunggu habisnya rezim, karena hampir pasti mereka tidak akan dipakai lagi. Mereka tak peduli dengan tudingan menghianati rakyat. Mereka tidak berpikir dan bertindak hati-hati, bahkan cenderung bersikap sesuka hatinya. Mereka tak punya waktu untuk mendengar rakyat korban pendataan, sehingga tidak tersentuh bantuan sosial, yang dipikirkan mereka hanya fee n cash back dari kebijakan yg mereka buat sendiri.

Dalam kondisi begini, sebelum kena tulah alias sial ketangkap KPK, alangkah indahnya bila para tokoh berlebih termasuk para ulama dan umaro melakukan gerakan nasional ‘nasi bungkus’. Saatnya kita bersatu turun gunung, satukan persepsi dan satukan langkah untuk mengentaskan kesusahan ekonomi di lingkungan terdekat masing masing.

Ekonomi Nasional dalam keadaan darurat, jangan lagi menunggu, ayo kita bergerak sekarang juga.

Semoga Allah segera memberikan yang terbaik untuk seisi negeri ini, Republik Indonesia yang kita cintai. (Red)

judul gambar

Leave a Reply

Your email address will not be published.